Pages

Rabu, 03 Agustus 2011

Nikmat Berpuasa

04 Ramadhan 1432/04 agustus 2011



DALAM tubuh manusia terdapat segumpal darah, begitu kata Rasul. Jika ia
baik, baik pula keseluruhannya. Sebaliknya, jika buruk, buruk pula
seluruhnya. Segumpal darah itu adalah hati.

Dalam bahasa lain, hati adalah *qolbun*. Disebut *qolbun *karena memiliki
sifat atau kecenderungan yang berubah-ubah. Terkadang mengikuti dorongan id.
Pada kali lain mengikuti apa kata superego.
Id adalah dorongan nafsu. Bersifat hewani. Hasratnya tertuju pada
kesenangan, kemewahan, dan keserakahan. Maklum, ia digerakkan oleh kekuatan
setan, sedangkan superego adalah hati nurani. Oleh Imam Ghozali, disebut *nafsu
muthmainnah*. Ia bertindak atas dasar akal budi. Akal budi sering mengatur
kehidupan bercorak manusiawi. Ketika id mengajak menyimpang, superego
bilang: jangan. Misalnya, jangan menipu, jangan korupsi, dan jangan
semena-mena.

Pergumulan tiada akhir antara id dan superego demikian menjelaskan
bahwa *qolbun
*manusia berada di antara tarikan setan dan Tuhan. Apa yang disukai setan,
dibenci Tuhan. Sebaliknya, tindakan yang disukai Tuhan, dibenci setan.
Barangkali hanya satu hal yang sama-sama dibenci oleh keduanya, yaitu
memperkosa anak-anak setan.

Itulah sebabnya, manusia mudah bimbang. Bimbang untuk menentukan pilihan.
Apakah lebih takut ancaman Illahi atau mengikuti dorongan birahi. Apakah
tetap jujur di lingkungan orang-orang yang korup sehingga dijauhi teman atau
ikut-ikutan korupsi sekalian. Konflik batin seperti itu berjalan mengikuti
edaran waktu, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan.

Jika konflik batin dalam kehidupan manusia dilihat dari episode waktu
seperti itu, bulan Syakban adalah episode dari suatu puncak pertikaian.
Artinya, pada bulan Syakban itu manusia harus menentukan pilihan. Ikuti saja
dorongan nafsu setan atau kembali ke garis Tuhan. Jika yang terakhir yang
menjadi pilihan, maka Ramadan adalah episode peleraian.

Pada episode peleraian inilah sang aktor, yakni orang-orang yang berpuasa,
sedang melakukan wisata rohani. Tujuan akhirnya yakni menemukan jati diri.
Itulah Idul Fitri. Kembali ke fitrahnya sendiri. Dari titik inilah relasi
manusia dengan Tuhannya bertemu, sebagaimana ungkapan kaum sufi: *man arafa
nafsahu faqod arafa rabbahu*. Inilah diktum kenikmatan puasa yang tiada tara.

Akan tetapi, apa yang terjadi? Rupanya, masih banyak orang yang memahami
puasa sebagai bulan pencegahan hasrat badaniah. Puasa lebih dilihat sebagai
larangan makan minum seharian, termasuk bersebadan.

Celakanya, dalam koridor seperti itu, kita terbiasa dan membiasakan sarapan
dan makan siang. Ketika jadwal makan itu diubah, perut pun terkejut. Dalam
keterkejutan seperti itu, nada dasarnya adalah lapar.

Rasa lapar seperti itu rupanya terespons oleh fa'al. Lantas sebagian *shoimin
*alias orang yang berpuasa, lebih memilih untuk bermalas-malasan. Lihatlah
masjid dan mushala pada siang hari. Di sana begitu banyak orang
mengfungsikannya untuk tiduran.

*Kok *jadi begitu, kenapa? Kalau ditanya, mungkin mereka berkilah. *Naumush
shoim ibadah*. Tidurnya orang puasa itu ibadah. Memang tidak salah karena
begitulah bunyi teksnya. Namun jika itu yang menjadi pilihan, maka bulan
puasa menjadi bulan penurunan produktivitas. Jika faktanya begitu, lalu
kapan orang Islam bisa maju?

Itulah dampak kalau puasa dilihat dari sisi lahiriahnya: lapar. Lapar yang
disengaja. Rasa lapar seperti itu dimaksudkan untuk menumbuhkan kepekaan
sosial. Menolong antarsesamanya. Dari sinilah Allah mengajarkan makna lapar
lewat bahasa puasa, "Mencintai Aku artinya mencintai makhluk-Ku."

Jadi, puasa adalah media Tuhan untuk mengajarkan kepada manusia untuk
tolong-menolong dalam kebajikan, bukan dalam kejahatan. Agama mengajarkan
altruisme seperti kewajiban mengeluarkan zakat fitrah. Untuk apa? Agar hidup
menjadi bermakna. *Meaningfull*, bukan *meaningless*.

Ada kisah dalam Isra' Mikraj Nabi yang layak dituturkan. Dua orang lelaki,
yang satu adalah seorang *abid *(ahli ibadah), terbiasa dan membiasakan
shalat dan berpuasa, tetapi menghindari bersedekah. Padahal dia orang
berpunya. Yang satu lagi boleh dikata tidak punya amalan kebaikan. Tidak
shalat, tidak pula berpuasa. Akan tetapi, pada suatu hari, orang itu memberi
minum seekor anjing yang hampir mati karena kelaparan.

Pada pengadilan akhir kelak, siapa yang dimasukkan surga? Ternyata bukan
yang ahli ibadah tapi tidak mau bersedekah, melainkan lelaki yang
menyelamatkan nyawa seekor anjing yang kelaparan. Orang itu dimasukkan surga
karena kepada seekor anjing saja, ada kepedulian, apalagi dengan sesama
insan.

Jadi, rasa lapar ketika berpuasa seharusnya menjadi bekal agar jiwa
terpanggil untuk bersedia menanggulangi kelaparan orang lain. Mengurangi
beban orang lain. Bukan sebaliknya, mempersulit orang lain.

Kalau kita berhasil menangkap pesan-pesan itu, maka bulan Puasa menjadi
bulan yang penuh keindahan dan kenikmatan. Bukan saja ketika waktu berbuka
telah tiba, tetapi juga di dalam bulan Puasa itu, pahala atas kebajikan
dilipatgandakan dan dosa-dosa terampuni. Mengapa? Karena, seperti dalam
hadis *qudsi*, Tuhan berkata, ''*Ashiyamu li wa ana ajzi bihi, wal hasanatu
bi asyri amtsaliha.*'' Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan memberi pahala
atas puasanya dengan kelipatan sepuluh kalinya. (46n)

*Dr Mudjahirin Thohir MA *, Anggota PWNU Jateng dan Kepala Pusat Penelitian
Sosial Budaya Lembaga Penelitian Undip

0 komentar:

Posting Komentar